Perjuangan

Perjuangan ialah menelan kerikil-kerikil tajam
sambil berlari bermil-mil
kemudian menghanyutkannya
ke dasar Samudera

Tasikmalaya-Ciamis, 2012.

Selasa, 11 Desember 2012

5 Puisi Aji Septiaji (Maret 2012)

Fatamorgana Malam

Telah aku lewati bulan di atas menara
cahyanya perlahan memudar
berpendar di sela sela kamar
Aku yang ada pada saat itu
Seakan terjelembab
dalam fase fase fatamorgana:
antara malam dan pagi

Namun aku asingkan malam,
hingga pagi mulai bicara:
Embun pagi seolah memalsukan diri
pada hijau daundaun
Angin pagi seolah menampak diri
pada gerak gerik daun
Pula matahari pagi seolah menancap diri
pada akarakar daun

Malam, aku memang mengasingkan
namun malam, engkau akan cepat datang
setelah suasana pagi mulai habis....

2012

Episode Daun Kering

Sepoi pagi menepi pada daundaun
Kibasnya memalingkan muka
Melaju hingga jauh

Demi waktu yang menahun
Mereka menggugur diri

Pohon pohon bercerai berai,
tak lagi rimbun.
Mereka harus memakan zaman

2012

Jejak Dalam Ruhmu

Entah berapa kali
Aku melewati jejak matahari
Sinarnya memancar
Berpendar
Memudar dalam ruhmu
Ruhmu memang tak setajam dulu
Setajam mata pisau
Yang mampu menyeka dada
Bila ku ingat masa lalu
Tentu energi energi dalam tubuhku
Kan bercampur baur:
“antara duka dan luka”

2012

Dan Malam

Menjelma di antara malam pekat
Meruang di antara malam kuat
Membaur di antara malam kusut
Menggaib di antara malam hebat

Aku dan malam adalah paduan satu nyawa
Aku dan malam adalah padanan satu napas
Aku dan malam adalah gabungan satu ruh
Aku
dan
malam
adalah
satu

2012

Lidah Api

Aku terpedaya oleh api matahari
Panasnya menciumi kulit kulit
Mencabik raut muka
Memudarkan hitaman rambut
Pun aroma dalam tubuhmu
Mengikuti alur matahari:
Aku seolah turut terbakar oleh cacian apimu.
Aku harap:
Redakanlah apimu,
semayamkanlah apimu dalam-dalam,
dan
Bekukanlah lidah apimu.
Sebelum:
Apimu menjalar ke dalam nyawamu.

2012

*Diterbitkan pada Harian Umum Kabar Priangan Edisi Rabu, 28 Maret 2012.

5 Puisi Aji Septiaji (Pebruari 2012)

Adalah Malam

Adalah kelam sebagai penyulam malam
Adalah malam sebagai penikam cekam
Adalah cekam sebagai penimbun karam
Adalah karam peniadaan malam
Membayang diantara yang dalam
Meruang diantara temaram
Menggaibkan alam
Memuram
Buram
Diam
2012

Aku Cemburu Pada Malam

Kecemburuanku pada malam makin menjadi
Di menitmenit ini aku seolah menakdirkan diri
dalam labirin kesunyian.
Di peraduan pula aku memagut diri seolah tiada rupa
Sungguh aku mencemburuimu malam,
adakah sejenak serpihserpih sejatimu bersarang dalam tiap ringkihku?
adakah sedikit celahcelah ruang gaibmu menampak diri?

Dalam batas ruang
candu malam seolah mengintimidasi
Aku terkulai oleh cacapan parang
ia mencecap begitu garang
Dalam batas ruang
Ku sandar segala kelu
biar ia membeku kaku
Di emper-empermu pula
aku seolah tergravitasikan
Oh malam...
berhentilah mencandaiku

2012

Jangan Bercanda, Malam!

Aku mulai terkulai oleh candaan malam
ruang dalam mimpiku tak dapat menampung
Aku cenderung memungut ejaan ejaan semu
Dari candaanmu pula ruh dalam tubuhku seolah membeku:
ibarat hujan yang tak tergravitasikan.
Oh malam...
Engkau tau aku tak dapat menyulam matahari,
sekalipun ia meminimkan ukurannya.
Tetap panas dan ganas...
Oh malam...
Jika engkau makin malam
kan ku pinjam elemen elemen terpanas di bumi ini
dan
Jika engkau makin bertambah malam
semayamkanlah ruhku dalam jurang paling dalam

2012

Hujan

Meski hujan kali ini cukup hebat
Aku takjub pada angin yang membawanya berlari
sekali-kali daundaun meliuk-liuk dengan romantis
pula kabel-kabel melompat-lompat dengan sahdu
Sungguh pemandangan yang eksotis di hujan hari ini

2012
Duka
Disertai balingbaling tak berinisial tepat di atas kepala
anginangin kusam mulai menampak rautnya
debudebu peradaban saling beterbangan
dindingdinding tak lagi membeku,
ibarat mencairkan matahari ke mulut es.
2012
*Diterbitkan pada Harian Umum Kabar Priangan Edisi Rabu, 15 Pebruari 2012.

Kalimat-kalimat Sakti

Sebuah Cerpen Aji Septiaji

Mimpi. Satu kata yang makin menyeruak dan membuncah dalam memori. Mimpi ibarat butir-butir salju di musim dingin. Ia takkan mampu bertahan oleh panas api matahari sekalipun ia makin mempertebal diri. Mimpi bagai ruang gaib yang mampu menerjemahkan segala asa. Saat mimpi tak lagi bersambut, ia bagai rinai hujan pemakan waktu.
Jarum pendek menunjuk pukul 07.00 pagi, waktu seakan cepat berputar. Andai waktu terhenti dan bisa aku hentikan, aku takkan bangun secepat ini dari mimpi semalam. Menjadi ratu sejagad, bergelimang harta, dan gemar beramal. Aku kira hanya aku yang punya mimpi, ternyata setiap manusia punya mimpi, bahkan manusia yang sudah mati pun masih punya mimpi tentu saat ia hidup.
Aku seorang perempuan terlahir dari keluarga sederhana. Ayahku meninggal dua tahun lalu. Kini aku hidup berdua dengan ibuku, ibu yang paling baik sejagad raya. Ganas api matahari takkan mampu mengurungkan niat untuk selalu membahagiakannya. Pun bila terang bulan tak mampu lagi bersinar, aku kan menjadi penerang baginya. Kalimat-kalimat beracun terucap dari mulut para pendosa: teman, tetangga, bahkan seorang sahabat. Aku sebut mereka pendosa karena bagiku mereka tak lebih dari segumpal rayap ketika menggumul kayu hingga habis tak bersisa. Mereka tak mampu memahami proses, melainkan hanya hasil.
Matahari kian membakar sekujur tubuh, panasnya tak mampu kuelakan. Semakin aku melawan semakin ia menerjang. Aku lelah dengan perdebatan siang ini, cuaca yang tak mendukung serta situasi yang mencekam. Setiap hari aku harus bergulat dengan waktu, kadang juga bercanda bersama terpaan angin tuk sejenak mengusir keluh-kesah. Masa kecilku tak seperti anak-anak lain yang dimanjakan oleh orang tua, dan terpenuhi segala keinginan.Ya inilah hidup, setiap orang punya dunia masing-masing. Mungkin inilah dunia saya sebenarnya yang harus aku lalui tuk menggapai satu kata, yaitu "bahagia".
Dalam diam kuratapi arti hidup ini. Anganku melayang membayang sejuta asa, hiruk-pikuk hidup tak ada dalam imaji. Bergelimang harta dan tahta adalah hal yang masuk akal bagi hidupku. Namun itulah yang kini menjadi imaji, mimpi belaka, bahkan hal yang tidak akan pernah terwujud. Meski akal ini menolak keras, hati tetap teguh. Mencoba berjalan lurus walau penuh duri. Pun malam tiba aku harus melawan angin dingin juga rayuan-rayuan maut para lelaki hidung belang, karena bagi mereka aku adalah apa yang mereka pikirkan, "perempuan penjual harga diri." Berangkat di pagi buta, pulang tengah malam.
Jika aku tak ingat pesan ayah dulu, mungkin saat ini para pendosa sudah aku lenyapkan dari pandangan mata. "Lakukanlah apa yang bisa kamu lakukan, selama itu bermanfaat bagimu. Meskipun buah yang kau tanam tak selamanya berbuah manis, tapi yakinlah suatu hari nanti buah itu akan manis." Begitu beliau berpesan. Bagiku kalimat tersebut adalah kalimat paling indah bahkan kalimat paling sakti yang pernah ku dengar.
***
Hujan begitu deras seakan menyentak keheningan bumi. Kering daun yang mengering kini membasah, hanyut bersama arus hujan. Makin hari bualan dari para pendosa makin meruang dan mengimaji dalam memori. Seperti gelas yang terus menahan air tanpa diminum akhirnya gelas berisi air itu pun meluap, seperti itulah ibuku saat ini. Tak kuasa menahan bualan dari para pendosa tentang hidupku akhirnya ia sakit. Dalam ranjang kusam ia terbaring lemas.
"Zia...." seru ibu.
"Ya bu..." sejenak kutinggalkan pekerjaan di dalam kamar.
"Obat sudah habis, Nak, tolong belikan," nada yang begitu pelan.
"Ya Bu akan segera saya belikan." Bergegas pergi meski di luar sana hujan masih mendera cukup lebat. Sejenak ku singkirkan tentang hujan, dalam pikiranku saat ini ialah membeli obat untuk ibu.
Pikirku mulai menjamah tak tentu arah, "Jika ibu telah tiada, bagaimana dengan hidupku nanti. Apakah aku bisa bertahan hidup atau tidak, mungkin takkan ada lagi pendorong bagi hidupku kelak." Sambil memandang langit yang tampak kelam dan legam.
Hujan semakin deras seolah tak ingin akrab dengan jiwa dan raga. Ia terus saja membasuh jalanan, menghentikan langkah tuk berpulang. Raga memang sedang menunggu hujan reda, namun pikiran dan perasaan ini selalu tertuju pada ibu yang terbaring lemah.
"Ya Allah.. lindungilah ia sebagaimana Engkau melindungi saya," dalam hati berucap keras. Tiga puluh menit berlalu hujan pun berlalu, aku mulai berlari secepat kilat tuk sampai ke rumah.
Sejauh mata memandang kerumunan orang berkumpul di luar rumah bagai semut mengkerumuni gula. Hati memang tak pernah salah, apa yang aku khawatirkan akhirnya menjadi kenyataan.
"Zia.. ibumu..." ucap seorang tetangga
"Ada apa dengan ibuku...?" kataku dengan hati yang tak tentu.
"Ibumu sudah tiada..." menyahut dengan nada pelan.
Bagai tersambar petir di siang bolong, bagai api matahari mendekat dalam pelukan, bagai bumi menghimpit raga. Seperti itulah perasaan dan pikiranku saat ini. Entah harus berucap apa, entah harus berlaku apa. Kacau dan galau.
"Ya Allah.... mengapa Engkau mengambil ibuku secepat ini di saat aku sangat membutuhkannya, butuh kasihnya, sayangnya, cintanya, tatapannya, juga dekapannya," ucapku keras dalam hati, meski suara hati tak mampu didengar oleh orang lain kecuali Allah.
Ikhlas, satu kata yang kini harus aku ucap, ingat, dan lakukan. Betapa berat jalan hidup ini. Semua aku tulis dalam catatan takdirku, namun tentangmu ibu, bukan hanya aku tulis dalam catatan, akan aku ingat selalu dalam setiap derap langkah.
Ayah, ibu, engkaulah kalimat-kalimat sakti dalam setiap detak jantung dan hembus napas. Kisahmu akan selalu terimaji.***

*Diterbitkan pada Harian Umum Kabar Priangan Edisi Rabu, 25 Januari 2012.

Kamis, 01 September 2011

Budayakan Minat Baca Dan Tulis


Membaca dan menulis merupakan sarana meraih ilmu dan memperkaya wawasan.  Maju mundurnya suatu peradaban ditentukan oleh tradisi membaca dan menulis masyarakat. Semakin tinggi budaya baca-tulis masyarakat, semakin maju pula peradabannya.
         Siapa pun yang ingin maju dan berbuat yang terbaik bagi bangsanya haruslah membiasakan diri dengan aktivitas membaca dan menulis. Dalam empat keterampilan berbahasa pun keduanya menempati urutan tertinggi setelah menyimak dan berbicara. Hubungan keduanya sangat erat bagaikan fondasi-fondasi yang turut memperkokoh sebuah bangunan. Membaca dan menulis seharusnya sudah mendarah daging dalam jiwa dan raga kita. Orang bijak mengatakan bahwa membaca adalah jendela dunia, tetapi tidakkah kita ketahui bahwa membaca juga adalah bagian dari jendela tersebut yaitu kaca. Tanpanya sebuah jendela takkan bisa utuh, hanya bongkahan kayu berbentuk jendela yang karenanya mudah tertembus angin. Membaca merupakan solusi bagi siapa saja yang ingin menulis. Semakin banyak buku yang di baca semakin banyak kosa kata serta wawasan yang diproduksi. Sama halnya meminum air, semakin banyak air yang diminum semakin banyak pula air yang dikeluarkan. Namun ketika membaca dijadikan sebagai pandangan sekilas, “yang penting menulis” tanpa membaca terlebih dahulu mustahil ide serta wawasan akan tertuang dalam tulisan.                   
       Aktivitas membaca dan menulis masih sangat minim di negara kita. berbeda dengan negara tetangga yang mempunyai motto “sedikit-sedikit membaca,” sedangkan kita hanya “sedikit membaca.” Membaca dan menulis harus dibudayakan, jika tidak maka akan berdampak bagi sumber daya manusia kelak. Budaya copy-paste atau plagiarisme pun bukan tidak mungkin akan kembali menggeliat. Bila itu terjadi maka jati diri serta karakter bangsa akan pudar. Seperti dalam kata bijak, “Bila harta hilang, tak ada yang hilang. Bila kesehatan hilang, sesuatu hilang. Bila karakter hilang, maka segalanya akan hilang.”
       Seperti yang diungkapkan oleh Khaerudin Kurniawan dalam buku “Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Cerdas dan Kreatif”, sebagian orang berpandangan bahwa budaya kita adalah budaya lisan (orality), bukan budaya tulisan (literacy). Jauh sebelum zaman kuno, kurang sekali peninggalan sejarah kita dalam bentuk lisan (folklore), yang diwariskan turun-temurun. Agaknya, kondisi seperti ini terus berlangsung sampai sekarang.
          Pernyataan di atas semakin menambah keyakinan bahwa minat menulis kita masih rendah. Rendahnya minat karena kurang membudayakan baca-tulis. Seseorang dikatakan ahli dalam menulis karena sebelumnya ia ahli dalam membaca. Sedangkan untuk menciptakan manusia aktif, cerdas, kreatif, dan terampil ditentukan olah tradisi membaca.

Niat yang Ikhlas
Rasa malas sering menjadi penyebab setiap orang dalam meraih ilmu, apalagi untuk membaca dan menulis. Tidakkah kita ketahui bahwa semakin kita malas dalam melakukan sesuatu, semakin sedikit yang bisa kita lakukan. Tanamkanlah dalam benak kita bahwa “satu hari tidak mendapat uang itu hal yang biasa, tapi satu hari tidak mendapat ilmu itu hal yang tidak biasa.”    
Tengoklah para sastrawan kita yang sudah lama malang-melintang dalam dunia kepenulisan. Sebut saja sastrawan asal Pulau Dewata, Bali. I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau yang lebih di kenal dengan Putu Wijaya. Beliau telah banyak menghasilkan berbagai macam karya sastra dan karyanya pun masih menjadi cerminan bagi dunia kepenulisan. Ribuan karya sastra telah dihasilkannya, diantaranya 30 novel, 40 naskah drama, 1.000 cerpen, ratusan esai, dan berbagai karya lainnya. Ribuan karya tulis yang telah dihasilkannya tidak cepat merasa puas begitu saja. Putu Wijaya pun dalam setiap hari mampu mengarang cerita sebanyak 30 halaman. Sungguh sangat pantas dijadikan acuan bagi siapa saja yang gemar dan punya niat untuk menulis.
          Menurut Putu Wijaya, “faktor bakat berpengaruh tak lebih dari 5 persen.” Itu berarti dalam hal menulis setiap orang mampu karena tidak didominasi oleh bakat atau kemampuan. Niat yang besar merupakan pengerak utama dalam memulai segalanya. Niat saja mungkin tak cukup, perlu adanya kekutaan emosi yang menggerakkan niat. Ketika niat hanya dijadikan sebagai pelengkap, maka ia takkan berarti apa-apa. Hanya sebuah retorika belaka. Hakikat orang yang gemar membaca dan menulis ialah ingin meraih sukses. Siapa pun bisa sukses. Sejatinya kesuksesan ibarat memukul sarang lebah, ketika kita memukulnya segerombolan lebah keluar dari sarangnya mencari pelaku dan menyengat tanpa pandang bulu. Jadi siapa pun dan bagaimana pun bisa meraih sukses tanpa memandang status, baik itu orang kaya, miskin, negeri bahkan swasta.
            Menumbuhkan niat yang ikhlas memang tak mudah, semua harus berawal dari dalam diri dan dari hal terkecil. Sudah saatnya bagi kita untuk menenggelamkan diri dalam dunia kreativitas dengan membudayakan tradisi membaca dan menulis. Siapa banyak membaca dan menulis mereka menguasai informasi, sedangkan mereka yang menguasai informasi maka mereka menguasai dunia. Semoga!

Sabtu, 02 April 2011

KOMPETENSI MENULIS DI MASYARAKAT


Oleh: Aji Septiaji
Keterampilan menulis sebagai salah satu penunjang kebutuhan ilmu pengetahuan merupakan hal vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Semua yang tergabung dalam ruang lingkup masyarakat perlu memberikan kontribusi demi terciptanya masyarakat yang berpendidik dan maju. Dunia kepenulisan “memaksa” (dalam makna positif) seseorang untuk bertransformasi ke dalam dunia tersebut. Keterampilan menulis pun merupakan tingkatan tertinggi dalam keterampilan berbahasa. Jika kita bisa lebih memahami dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari tentu akan membawa pengaruh yang luar biasa, bukan hanya untuk dirinya namun juga bagi khalayak.
            Begitu erat hubungan keterampilan menulis dengan jiwa masyarakat, karena begitu dekatnya dengan menulis maka ia tak bisa dilepaskan. Ketika seseorang membutuhkan informasi, ia akan mencari media informasi. Media informasi ada dua macam yaitu media lisan dan tulisan. Media lisan berupa informasi yang diucapkan dan diperdengarkan melalui televisi dan radio, sedangkan media tulisan ialah informasi yang dipublikasikan melalui surat kabar, buku dan majalah. Kedua media ini sangat berperan penting, jika tidak ada media tersebut masyarakat akan merasa terjebak dalam dunianya. Dunia yang kosong tanpa ilmu dan wawasan. Jika itu terjadi kita akan semakin tertinggal jauh dengan negara lain yang semakin hari semakin berkembang. Hal demikian akan menggambarkan bahwa kompetensi menulis kita masih rendah.
            Tengoklah ke negara tetangga kita, Amerika dan Jepang. Mereka lebih dominan mengelola bahasa tulisan ketimbang lisan yang tentu didukung oleh tradisi membaca serta teknologi. Wajar saja jika ilmu pengetahuan mereka lebih berkembang cepat.
Sebagian orang berpandangan bahwa budaya kita adalah budaya lisan (orality), bukan budaya tulisan (literacy). Jauh sebelum zaman kuno, kurang sekali peninggalan sejarah kita dalam bentuk tulisan (prasasti, naskah), dan lebih banyak dalam bentuk cerita lisan (folklore), yang diwariskan turun-temurun. Agaknya, kondisi seperti ini terus berlangsung sampai sekarang (Kurniawan, 2010:259).
Pernyataan di atas semakin menambah jelas bahwa kompetensi menulis kita masih rendah dibanding negara lain. Kompetensi yang rendah bisa perlahan kita perbaiki apabila sama-sama memiliki keinginan untuk mengubahnya. Faktor utama yang menjadi pengubah ialah dari dalam diri. Jika kita sebagai mahasiswa atau guru, sudah selayaknya memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat. Di dalam ruang lingkup masyarakat tentu ada masyarakat yang berpendidikan dan kurang berpendidikan. Masyarakat berpendidikan didominasi oleh orang-orang intelek berwawasan luas, sedangkan masyarakat kurang berpendidikan didominasi oleh orang-orang yang belum sempat mengenyam manisnya pendidikan dan mereka cenderung masih kekurangan dalam pengetahuan maupun ekonomi. Masyarakat yang kurang berpendidikan ini lah yang perlu didukung oleh yang berpendidikan seperti guru, mahasiswa, dll. Upaya guru/mahasiswa untuk meningkatkan kompetensi yang rendah sangat beragam, satu diantaranya ialah melakukan penyuluhan bagi masyarakat yang masih terbatas dalam dunia kepenulisan.
Ketika ilmu pengetahuan mulai membaur dalam lingkungan masyarakat, akan terbentuk suatu kompetensi baru yang bisa membangkitkan rasa saling memperbaiki. Membangkitkan jiwa menulis memang memerlukan proses. Namun jangan jadikan menulis itu sebagai sesuatu yang baru tapi jadikan menulis itu sebagai tradisi, karena ilmu pengetahuan akan berkembang jika dibarengi dengan tradisi menulis dan membaca.
            Wajar saja jika keterampilan menulis berada diurutan terakhir dalam empat keterampilan berbahasa, karena dianggap sulit. Namun kesulitan tersebut bukan berarti tidak bisa dipelajari dan dikuasai.

Jumat, 04 Maret 2011

MENULIS CERPEN

Oleh: Aji Septiaji
Cerpen atau cerita pendek adalah karangan prosa fiksi yang bersifat naratif atau menguraikan. Penulisnya dituntut untuk bisa mengemukakan secara runtut jalan sebuah cerita, sehingga bisa menggambarkan bagaimana kisah yang diuraikan terkonsep jelas dalam imajinasi pembaca serta bisa mengalami benar peristiwa dalam kisah tersebut. Posisi cerpen boleh dibilang berada di tengah-tengah jenis karya sastra lain, sebelum novel dan sesudah puisi. Antara puisi, cerpen, dan novel serupa tapi tak sama. Serupa jenis karya fiksi, memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Namun tak sama dalam mengelola teknik dan metode penulisan. Namun, mengenai teknik dan metode penulisannya pada tahun 1981 Mochtar Lubis mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Teknik Mengarang bahwa panjang pendeknya sebuah cerita tidak menjadi ukuran apakah sesuatu cerita termasuk golongan cerita pendek atau tidak. Ada cerita pendek yang terdiri dari 500 perkataan tetapi ada juga yang terdiri sampai 40.000 perkataan. 
Sastra memang unik dan beragam, apalagi macam-macam karyanya. Keharmonisasian kata, kalimat, serta makna tersaji didalamnya, karena itulah sebagian pembaca terutama mahasiswa menggemari karya fiksi ketimbang nonfiksi. Meskipun fiksi bersifat khayalan namun tetap punya makna, bisa memperkaya wawasan serta melatih intuisi pembaca.
Tengoklah para sastrawan kita yang telah menghasilkan sejumlah karya emasnya, baik pada zaman dulu maupun sekarang. Karya-karya mereka sangatlah pantas menjadi acuan bagi siapa saja yang ingin belajar kesusastraan, terutama cerpen.
Chairil Anwar adalah salah satu sastrawan Indonesia pelopor angkatan ’45 yang telah banyak menghasilkan karya sastra. Ada salah satu karyanya yang bisa menjadi semangat bagi kita, dalam puisinya berjudul “Aku (versi Deru Campur Debu)” pada larik terakhir terdapat kalimat “Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Dari sisi lain “Aku mau hidup seribu tahun lagi” bisa dimaknai seseorang yang ingin hidup lebih lama tinggal di dunia. Perkataan Chairil Anwar tentu punya makna dan tujuan, makna dan tujuan tersebut ialah ia ingin hidup lebih lama lagi dengan menuangkan pemikirannya melalui bahasa tulis terutama karya sastra. Namun, sangat disayangkan usia sang sastrawan tak sejalan dengan puisinya. Ia meninggal pada Tahun 1949 tepat usia 27 Tahun. Memang masih muda, pada usia tersebut merupakan masa yang produktif dalam menghasilkan berbagai karya.
Setelah memahami bagaimana sisi lain dari karya sastra, kita bisa memetik pengalaman dan semangat untuk tenggelam dalam dunia sastra. Sebelum mereka menjadi sastrawan hebat tentu mereka juga belajar, belajar bagaimana menulis karya sastra yang baik dan benar. Bagi siapa saja yang ingin mendalami dan menghasilkan karya sastra mereka harus belajar tanpa berhenti. Bagi penulis cerpen terutama pemula terlebih dahulu harus memahami karakteristik apa saja yang perlu diperhatikan dalam menulis cerpen. Berikut akan dipaparkan beberapa karakteristik yang tergabung dalam cerpen.

Unsur Intrinsik
Unsur yang terdapat di dalam tubuh cerpen ini berfungsi membentuk keutuhan sebuah cerita. Pada umumnya setiap karya sastra seperti: puisi, cerpen, novel, drama memiliki unsur tersebut.
Tema, latar, alur, sudut pandang, penokohan, serta amanat merupakan bagian dari unsur intrinsik. Tanpa unsur tersebut sebuah isi cerita tidak akan utuh, cenderung gelap dan hampa.
Tema
Tema adalah jiwa dari sebuah tulisan. Tanpanya tulisan akan mati. Bayangkan saja jika tulisan tanpa tema, tentu akan berantakan, rancu, dan tak bermakna. Manusia memiliki jiwa dan raga, ketika keduanya bersatu akan terbentuk sosok yang menakjubkan. Begitu pun sebuah tulisan, jika keduanya menyatu dalam satuan yang kompleks tulisan yang telah di buat akan berkualitas, sarat makna, dan mampu menyihir pembaca. Sering kali ketika membuat tema hanya terpaku pada satu kata yaitu: tema keagamaan, tema budaya, pendidikan, ekonomi, sosial, dll. Demi membentuk cerita yang sederhana namun berkualitas carilah tema yang bisa mempermudah rangkaian cerita. Alangkah baiknya jika sebuah tema berupa kalimat, misalnya:
1.      Setiap perbuatan pasti mendapat balasannya, baik maupun buruk.
2.      Cinta, kasih, dan sayang seorang Ibu sepanjang masa.
3.      Misteri bencana di balik Gunung Merapi.
Dengan menentukan tema berupa kalimat sebuah cerita tidak akan terlalu sulit ketika akan diuraikan. Satu kalimat bisa lebih mendukung daripada satu kata.
Latar
Latar atau setting adalah keadaan yang menceritakan inti cerita, latar bisa mencakup tempat, situasi, dan waktu. Adanya latar bisa membangkitkan kejadian suatu cerita yang akan diuraikan. Pembaca pun bisa merasakan di mana tempat ceritanya, bagaimana situasinya, serta kapan waktu kejadian tersebut. Misalnya jika kita membuat cerpen bertemakan seorang nelayan yang mencari ikan. Latar yang perlu dimunculkan ialah:
-          Tempat: pantai, laut, dll
-          Situasi: musim hujan, badai, cuaca tidak bersahabat, dll
-          Waktu: pagi hari, sore hari, malam hari, dll
Setelah latar ditentukan barulah penulis menyusun/merangkai cerita yang bisa dialami oleh pembaca.
Alur
Alur ialah pergerakan dari sebuah cerita. Cerita yang bertujuan memiliki alur. Jika kita sering membaca cerita, didalamnya terdapat pergerakan yang menunjukkan cerita itu berjalan dan hidup.
Setiap cerita biasanya dapat dibagi atas lima bagian:
1.      Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan),
2.      Generating circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak),
3.      Rising action (keadaan mulai memuncak),
4.      Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya),
5.      Denouement (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa)
(Tarigan, 2008:156).
Selain bagian alur di atas, ada juga alur lainnya yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran. Ketiga alur ini bisa mempermudah dalam merangkai jalan cerita. Alur maju ialah pergerakan cerita yang bersifat menatap ke depan atau futuristik. Penulis yang menggunakan alur ini biasanya mengawali cerita dari awal kejadian. Misalnya cerpen yang mengisahkan seorang anak manusia yang sukses. Penulis menceritakannya dari ia lahir, mulai dari seorang bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, bahkan hingga meninggal. Berbeda dengan alur mundur yaitu pergerakan cerita yang bersifat menatap kebelakang, kejadian masa lalu yang kembali terungkap. Penulis biasanya mengawali cerita dari akhir ketika menuju klimaks, dari sana lah terdapat celah untuk memunculkan kejadian masa lalu. Sedangkan alur campuran ialah pergerakan cerita yang menggabungkan antara alur maju dan mundur. Dari alur ini cerita yang ditampilkan begitu kompleks. Penulis bisa mengawali ceritanya dari awal atau akhir, kejadian masa lalu pun bisa dimunculkan kapan saja asalkan sesuai dengan rangkaian cerita.
Sudut Pandangan
Sudut pandangan ialah posisi pengarang dalam isi cerita. Sudut pandangan bisa mempertegas jalan cerita dalam cerpen.
Sudut pandangan ini ada berbagai ragam; yang terpenting diantaranya adalah:
1)      Sudut pandangan yang berpusat pada orang pertama (first person central point of view).
2)      Sudut pandangan yang berkisar sekeliling orang pertama (first person peripheral point of view).
3)      Sudut pandangan yang ketiga terbatas (limited third person point of view).
4)      Sudut pandangan orang ketiga yang serba tahu (third person point of view).
(Laverty [et al], 1971:337-8); Tarigan, 2008:137).
1)      Sudut pandangan ini penulis berperan sebagai aku/saya. Seakan-akan menjadi tokoh utama dalam cerpen yang dibuatnya.
2)      Sudut pandangan ini penulis berperan sebagai aku/saya, namun posisinya berada di luar sekeliling orang pertama bukan sebagai tokoh utama. Menceritakan perjalanan hidup orang lain.
3)      Sudut pandangan ini penulis tidak menggunakan kata aku/saya dalam cerita. Penulis memainkan orang-orang disekeliling orang pertama, bisa juga menggunakan kata mereka. Sudut pandangan ini bisa membangkitkan tokoh orang pertama.
4)      Sedangkan sudut pandangan ini masih sama yaitu tidak menggunakan kata aku/saya. Hadirnya orang ketiga serba tahu bisa memberikan kesempatan kepada pengarang untuk mengetahui segala sesuatu mengenai kondisi tokoh-tokohnya.   
Dengan demikian sudut pandangan memberikan pencitraan kepada pembaca, siapa saja dan sebagai apa tokoh yang berperan ada dalam cerpen tersebut.
Penokohan
Penokohan adalah orang-orang yang berperan mengisi kekosongan dalam sebuah cerita. Penokohan ini dikategorikan berdasarkan karakteristik. Secara umum kita mengenal adanya dua tokoh yaitu tokoh antagonis dan protagonis. Antagonis yaitu tokoh pembawa unsur unsur negatif, tokoh ini bisa dikatakan sebagai pemicu konflik sehingga cerita yang disajikan terasa menegangkan bagi pembaca. Sedangkan protagonis ialah tokoh pembawa unsur positif yang sering dikagumi oleh pembaca, karena sifatnya yang baik ia bisa dikatakan sebagai pahlawan kebaikan. Selain itu ada tokoh yang lain yaitu tokoh netral. Tokoh ini berada di jalan tengah bisa dikatakan sebagai jembatan pendamai antara tokoh antagonis dan protagonis ketika konflik memuncak. Hadirnya penokohan memang berperan penting demi terciptanya cerita yang sarat emosi sehingga bisa menghidupkan rangkaian cerpen
Amanat
Amanat ialah pesan-pesan sarat makna yang disampaikan penulis melalui bahasa tulisnya. Cerpen dinilai tepat dalam menyampaikan amanat. Melalui tuturan kisah yang diungkapnya cerpen memiliki cakupan cukup luas dalam penempatan amanat meskipun tak sekompleks karya sesudahnya yaitu novel dan drama.

Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik ialah unsur yang berada di luar cerpen. Karya sastra lainnya berupa puisi, novel, drama pun memiliki unsur yang sama. Unsur ini bisa membangun keutuhan suatu karya sastra karena didalamnya berupa nilai-nilai yang bisa mewarnai dan menjiwai karya sastra yang dihasilkannya. Berikut adalah beberapa nilai yang tergabung dalam unsur ekstrinsik:
-          Nilai adat istiadat: Nilai ini bersifat tradisi atau kebiasaan yang terjadi di masyarakat tertentu yang tercermin dalam cerpen.
-          Nilai keagamaan: Nilai ini bersifat sakral, permasalahan terhadap keyakinan yang bisa tergambar dalam cerpen.
-          Nilai biografi pengarang: Nilai ini menguraikan secara singkat riwayat hidup pengarang cerpen.

Berdasarkan Pengalaman
Setelah memahami berbagai macam unsur cerpen, sekarang saatnya bagaimana mengambil dan menerapkan kisah dalam cerpen. Hal ini berkaitan erat juga dengan menggali inspirasi dalam menuliskan atau menyusun cerpen, yaitu berdasarkan pengalaman. Pada umumnya berdasarkan pengalaman tersebut ada dua, berdasarkan pengalaman pribadi dan berdasarkan pengalaman orang lain.
Cara yang paling mudah dalam menggali inspirasi untuk mendapatkan jalan cerita ialah berdasarkan pengalaman pribadi. Dalam penulisannya pun kita bisa menggunakan kata aku/saya karena yang ada dalam inti cerita adalah pengalaman seorang penulis. Apa yang dirasakan dan dialaminya bisa dituangkan ke dalam cerpen. Namun ketika seorang penulis mendapat kebuntuan dalam menggali ide untuk menentukan kisah mana yang akan di ambil, penulis bisa menemukannya berdasarkan pengalaman orang lain. Orang-orang disekeliling kita bisa menjadi inspirasi dalam menyusun sebuah cerita. Keluarga, teman, merupakan cara yang ampuh ketika terjadi kebuntuan menuangkan ide. Pengalaman yang di dapat bisa berupa pengalaman hidupnya atau pun hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan orang lain.

Memulainya Dengan Membaca
Menuliskan apa saja yang dirasakan dan alami dalam hidup entah itu permasalahan pribadi ataupun orang lain kemudian menuangkan ke dalam tulisan berupa cerpen memang tak begitu sulit. Apa yang di tulis akan mengalir begitu saja sesuai dengan kejadian sebenarnya. Namun tulisan yang di buat tersebut akan berkualitas, bermakna, dan punya daya tarik bagi pembaca atau tidak? Semua tergantung pada kejelian penulis meramu suatu cerita. Merangkai kisah nyata ke dalam cerpen yang berbobot membutuhkan suatu proses yaitu proses mencari. Makna mencari memang begitu luas. Keluasan tersebut bisa kita peroleh dengan cara sederhana namun berkualitas yaitu membaca. Membaca karya-karya orang lain serta membaca situasi atau peristiwa yang terjadi disekeliling hidup kita merupakan jalan terbaik mencari inspirasi menulis cerpen. Hal yang paling berpengaruh bagi penulisan cerpen ialah dengan membaca terlebih dahulu karya sastra dari sastrawan. Karyanya yang begitu kuat serta bernyawa merupakan cara yang ampuh untuk dijadikan panutan dalam membuat suatu karya tulis.
Sebut saja I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau Putu Wijaya, seorang sastrawan asal Pulau Dewata, Bali ini telah menghasilkan sejumlah karya sastra yang tak bisa dihitung oleh jari. Karyanya yang begitu hebat bisa memberi warna baru bagi dunia kesusastraan. Ia telah menulis kurang lebih 1070 karya sastra, diantaranya 30 novel, 40 naskah drama, dan 1000 cerita pendek. Ia juga mampu menulis cerita sebanyak 30 halaman dalam satu hari. Karya-karya dari sastrawan bisa menjadi pembangkit semangat dalam bergiat dikesusastraan. Menulis membutuhkan proses, dan proses tersebut tergantung bagaimana kita dalam mengelolanya. Mulailah menulis dari sekarang, awali dari pengalaman sendiri dan menulislah dengan penuh emosi.


Daftar Rujukan
Lubis, Mochtar. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.
Anwar, Chairil. 2008. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Salah Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Laverty, Carroly d. [et.al], 1971. The Unity of English. New York: Harper & Row, Publisher.
http://id.wikipedia.org/wiki/Putu_Wijaya


    Selasa, 22 Februari 2011

    Rindu Untuk-Mu

    Tuhanku
    Kala kuberdiri di atas sejadah
    Terasa kuberdiri dihamparan teras Arasy-Mu

    Tiada kasih
    Tiada karib
    Yang menemani hanya diri

    Cinta dan kasih-Mu
    Selalu kurindu

    Minggu, 20 Februari 2011

    Tuhan, aku jenuh

    Tuhan...
    Dalam alam fana inginku alpa
    Lelah batin diracun manis dunia
    Sungguh sesak jiwa melihat semua
    Hina... dina...

    Banyak orang mengganti tanda
    Laki-laki jelita
    Perempuan perkasa
    Sungguh semu... palsu...

    Inginku pergi...
    Namun kutakut azab-Mu
    Takut neraka-Mu
    Takut segala siksa-Mu

    Tuhan...
    Aku jenuh
    Bawalah aku bersama malaikat penjaga siang dan malam

    Sabtu, 19 Februari 2011

    Senja

    Bila senja tiba
    Matahari mulai mengundurkan diri
    Peraduannya di lukis coretan lembayung jingga
    Tiap mega tertata penuh cinta

    Sungguh tiada tara aroma langit yang terasa 
    Menyegarkan mata
    Menyegarkan dahaga dalam asa
    Itulah senja...

    Hujan

    Siang ini matahari tak begitu kejam
    Mulut panasnya kini bungkam
    Gumpalan mega menutup rapat

    Semua membasah namun indah
    Tak harap air bah datang
    Pasti kami meradang